Selasa, 25 Maret 2014

Paradigma Baru Pamongpraja Dalam Otonomi Khusus Papua

Pendahuluan

Pengelolaan pemerintahan di Papua pada saat sebelum Otonomi Khusus belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, rasa keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan. Upaya penyelesaian masalah tersebut selama itu dinilai kurang menyentuh akar masalah sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan.

Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar Bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan perlu adanya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam ketetapa MPR RI Nomor IV/ MPR/ 1999 tentang Garis-Garis Besar Halauan Negara 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2 dan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/ MPR/ 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah di Provinsi Papua.


Atas dasar ketentuan tersebut maka Pemerintah Daerah Provinsi Irian Jaya bersama rakyat menyusun rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diajukan kepada Pemerintah Pusat untuk mendapat pembahasan dan pengesahannya sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. UU ini murni dibuat dari rakyat dan selanjutnya dibahas bersama pemerintah.

Otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apa yang harus dilakukan oleh Pamongpraja untuk lebih mempercepat penerapan Otonomi Khusus sehingga lebih dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Papua?

Pengertian dan Perkembangan Pamongpraja


Pamong berasal dari bahasa Jawa yang kata dasarnya adalah among, ini serupa dengan momong artinya mengasuh. Sedangkan praja berarti Pegawai Negeri atau Pegawai Pemerintah. Menurut Kamus Bahasa Indonesia Pamongpraja berarti Pegawai Negeri yang mengurus pemerintahan Negara. Apabila dilihat dari sejarah keberadaan Pamongpraja sudah ada sejak zaman Hindia Belanda dikenal dengan nama binnenlands bestuur yaitu pejabat bumiputra yang bertugas melaksanakan kepentingan Kerajaan Belanda di Indonesia. Pada awal kemerdekaan berubah nama menjadi Pangreh Praja kemudian diganti menjadi Pamong Praja.

Pamongpraja dalam sejarah pemerintahan di Indonesia memiliki peranan yang strategis, sebagai penyelenggara pemerintahan bertugas untuk melayani masyarakat dan juga berperan dalam menjaga keutuhan negara.

Ribuan tahun sebelum Tarikh Masehi, teknologi mobilitas tertinggi adalah teknologi pelayaran mengarungi samudra raya tanpa kompas magnetik atau elektronik seperti sekarang. Keberanian dan kecakapan puncak nahkoda adalah keberanian dan ketrampilan mengarungi lautan dan mengemudikan kapal di tengah badai dan topan dan selamat ke seberang. Ia harus pandai membaca isyarat alam. Keberanian dan kecakapan itu didukung oleh keluruhan budi dan kearifan jiwa dengan menjunjung tinggi kaidah-kaidah keselerasan dengan alam, etika bahari. Jika petaka tidak terduga tiba dan kapal tertimpa bencana yang terlebih dahulu diselamatkan adalah kaum terlemah  seperti bayi dan perempuan, orang sakit dan penumpang, Anak Buah Kapal (ABK) kemudian terakhir. Nahkoda itupun kalau ada kesempatan. Jika tidak, ia siap berkorban, jadilah pahlawan.

Sejak ratusan tahun yang lalu di bahu kiri dan kanan Pamongpraja Indonesia tersandang sepasang tanda pangkat berbentuk roda kemudi kapal lambang kewajiban menyelamatkan rakyat. Ini juga menjadi simbol bagi Pamongpraja masa kini. Dalam menetapkan kebijakan pemerintahan yang perlu mendapat perhatian utama adalah rakyat yang lemah. Ibarat mata rantai yang membentuk pagar bila ada yang longgar atau lemah harus dikuatkan sehingga posisinya seimbang, sama dan kuat. Itu adalah filosofi Pamongpraja.

Sejak akhir dekade enam puluhan rezim daratan berkuasa di Indonesia, budaya bahari terpinggir, budaya alun-alun berjaya, posisi beringinpun terangkat. Beringin lambang kerajaan. Bendera pengayoman berkibar pohon beringin yang dingin namun tidak ada sebuah tunaspun bisa hidup dibawah dan sekitarnya. Ketika krisis ekonomi menerpa pada bagian kedua tahun sembilan puluhan semua aspek kehidupan berubah termasuk sistem pemerintahan maka ketika Osborne dan Plastrik (2001) menulis tentang fungsi pemerintahan masa depan dengan salah satu dalilnya “lebih baik mengemudikan daripada mendayung” langkah menjadi pasti untuk back to basic kembali kepada roda kemudi, masa beringin sudah berakhir mari kembali kepada budaya bahari. Sebab musim pancaroba yang dahsyat samudera menggelora langit hitam pekat menggulung cakrawala tidak terbatas.

Bila merujuk pada peraturan perundang-undangan yang ada dan sejarah perkembangan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, Pamongpraja adalah mereka yang dididik secara khusus untuk melayani masyarakat serta menjaga keutuhan bangsa dan negara dengan bidang keahliannya sebagai generalis yang mengkoordinasikan cabang-cabang pemerintahan lain.
Sebutan Pamongpraja ditujukan kepada mereka yang menjabat Lurah, Camat atau Kepala Distrik, Polisi Pamongpraja, Asisten Sekretaris Daerah, Sekretaris Daerah. Sedangkan Pamongpraja diartikan secara etimologi adalah semua aparat atau pejabat pemerintahan yang bertugas melakukan aktivitas: melayani, mengayomi, mendampingi dan memberdayakan masyarakat. Pengertian ini termasuk TNI dan Polri.

Institut Pemerintahan Dalam Negeri

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan bahwa ada lembaga yang ditetapkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi di bidang kepamongprajaan yaitu Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan meliputi jenis pendidikan, pola pendidikan, kurikulum organisasi penyelenggaraan pendidikan, tenaga kependidikan dan peserta didik sehingga dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Sistem pendidikan yang perlu disoroti adalah metode pengajaran yang lebih menitik beratkan studi kasus dengan bobot teori 30-50% dan bobot diskusi 70-50%.
Perhatian dan kesungguhan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi kepamongprajaan dibentuk dengan nama Institut Pemerintahan Dalam Negeri yang berpusat di Jatinangor Sumedang, Jawa Barat, Cilandak Jakarta dan di berbagai daerah termasuk di Jayapura yang melaksanakan program studi tertentu.

Paradigma baru Pamongpraja

Penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri pada saat ini sedang dihadapkan pada berbagai tantangan meliputi perubahan lingkungan nasional, internasional, sosial, politik, ekonomi dan budaya, ilmu dan teknologi. Untuk menjawab tantangan itu pemerintah berkewajiban meningkatkan kualitas Pamongpraja melalui pendidikan khusus kepamongprajaan yang disebut Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Diharapkan melalui lulusan ini mampu merubah citra dan pamor birokrasi sehingga semakin dekat dengan rakyat, yang melayani dan bukan sebaliknya minta dilayani.

Sebagai Pamongpraja dalam berpikir dan bertindak perlu memahami makna Otonomi Khusus yaitu Keberpihakan. Keberpihakan membutuhkan pengecualian. Pengecualian membutuhkan pendampingan. Contoh keberpihakan seperti dalam penerimaan PNS pada suatu kabupaten lebih banyak kepada orang setempat misalnya kuota 100 orang calon PNS berarti 70-80 orang diterima yang berasal dari kabupaten setempat. Kemudian 15-25 dari kabupaten lain di Papua dan 5 dari luar Papua. Pengecualian berarti peraturan/ perundangan yang sifatnya nasional untuk sementara belum diberlakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan pendampingan adalah PNS setempat yang diterima perlu didampingi oleh PNS yang memiliki kemampuan tertentu selama kurang lebih 1-2 tahun. Setelah itu PNS tersebut dapat bekerja tanpa pendampingan.

Belajar dari pengalaman penulis maka dapat ditarik beberapa poin penting untuk menjabarkan paradigma baru yang semakin dekat dengan rakyat yaitu:
  • Pemahaman akan amanat rakyat
    Suara rakyat adalah suara Tuhan. Untuk itu menjalankan amanat rakyat dengan bertanggung jawab karena waktu terbatas dan tidak semua orang mendapat kesempatan menjadi pemimpin, sehingga waktu yang ada dapat diarahkan untuk berbuat yang terbaik bagi rakyat.
  • Integritas tinggi
    Keselarasan antara ucapan dan tindakan dalam menjalankan tugas. Mengusahakan tidak ada dusta antara pemimpin dengan rakyat. Memberikan pengertian kepada pemuka masyarakat/ kepala kampung bahwa APBD tahun berjalan belum bisa membangun di wilayah kampung tertentu dan meminta mereka bersabar menunggu giliran sambil menyiapkan APBD tahun depan untuk membangun wilayah mereka. Membangun itu bertahap, berlanjut dan membutuhkan kesinambungan.
  • Kehadiran di tempat tugas
    Pamongpraja harus bisa menjadi teladan dan panutan bagi yang dipimpin. Selalu berada di tempat tugas dan mengunjungi rakyat di kampung-kampung sehingga mengetahui masalah yang dihadapi masyarakat dan bisa segera menjawab dan menyelesaikan masalah.
  • Kemampuan menyusun program
    Pemimpin harus memiliki kemampuan menyusun program yang tepat yang menjadi daya ungkit bagi kegiatan berikutnya. Sebagai contoh membangun jalan yang menghubungkan antarkampung, membangunkan rumah rakyat di sepanjang jalan di atas tanah adatnya yang dilengkapi dengan solar sel dan kebun, membantu pengadaan truk angkutan yang mengangkut hasil kebunnya ke pasar, dll.
  • Pemberdayaan masyarakat kampung
    Menggerakkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk membina kampung, secara periodik mengadakan pertemuan, memberikan motivasi dan penyuluhan, bantuan peralatan, bibit dan bantuan modal usaha. Perlu kesabaran dalam melakukan pendampingan kepada masyarakat sehingga mereka akan menjadi mandiri, kuat dan sejahtera.
  • Membangun komunikasi dengan pemangku kepentingan
    Pamongpraja harus mampu membaca perubahan yang terjadi dalam kehidupan penyelenggaraan pemerintahan. Supaya tetap berperan ia perlu mengetahui dan menganalisis situasi yang berkembang, karena penyelenggaraan pemerintahan ini berada di tengah kehidupan partai politik, penegakan hukum dan keamanan. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk membangun komunikasi dengan pemangku kepentingan agar terjalin hubungan yang harmonis.

Kesimpulan

Lulusan Pamongpraja perlu disiapkan dengan metode pengajaran yang lebih banyak dengan studi kasus.
Untuk lebih mempercepat penerapan Otonomi Khusus, Pamongpraja harus memiliki komitmen untuk memberikan yang terbaik dengan integritas yang tinggi dan berpihak kepada masyarakat.
Berpikir inovatif dan kreatif dalam mengembangkan program, terbuka untuk mempelajari hal-hal baru untuk mempercepat tercapainya masyarakat yang mandiri dan sejahtera.

Daftar Pustaka

Ndraha, T. 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru). PT Rineka Cipta, Jakarta.
Osborne, D., & Plastrik, P. 2001. Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. PPM, Jakarta.
Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggabungan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri Ke Dalam Institut Ilmu Pemerintahan.
Suwandi, M. 2010. Menimbang 10 Tahun Pelayanan Publik Era Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu Politik, 21, hh 53-71.
UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Batkunde, A., Rumbrawer, F., & Mansoben, J.R. 2010. Eduard Fonataba, Peletak Dasar Pembangunan Kabupaten Sarmi. Editor Wahyudi, S. Surya Pena Gemilang, Malang.
Wasistiono, S. 2010. Menuju Desentralisasi Berkeseimbangan, Jurnal Ilmu Politik, 21, hh 31-50.

* Terbit pada Harian Bintang Papua, Senin, 11 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar